Suamiku,
suami juara... J
Tak terasa
tahun ini tahun kedua kami membina rumahtangga. Alhamdulillah ditengah-tengah
kami sudah ada Chacha, putri kecil kami. Usia dua tahun mungkin masih bisa
dibilang baru, dan sebagian orang banyak yang bilang kalau awal-awal pernikahan
adalah masa yang rentan. Di bawah usia lima tahun kata sebagian orang adalah
masa-masa yang paling banyak konflik.
Wajar
kalau banyak yang bilang awal pernikahan adalah masa yang rentan. Ya mungkin
karena masa-masa awal adalah masa penyesuaian bagi sepasang suami istri. Begitu
juga bagi kami, kami masih dalam proses penyesuaian, mencoba untuk terus
berkompromi dengan segala perbedaan yang kami miliki. Sebelum menikah memang
kami sudah berpacaran selama empat tahun. Empat tahun tentu bukan waktu yang sebentar
bagi kami untuk bisa mengetahui karakter kami masing-masing. Tapi tentu juga
bukan waktu yang cukup untuk meleburkan segala perbedaan kami.
Buat
saya pernikahan itu tidak harus menjadikan kami pasangan yang sama persis. Tidak
harus membuat kami kehilangan karakter masing-masing. Perbedaan dalam
rumahtangga adalah hal yang lumrah dan harus ada agar perjalanan kami tidak
membosankan. Dengan perbedaan kami bisa belajar untuk bertoleransi. Dengan perbedaan
kami belajar mencintai secara tulus, menerima segala kekurangan dan kelebihan
kami masing-masing.
Dalam
waktu dua tahun bukan berarti biduk rumahtangga ini aman-aman saja. Kami juga
punya berbagai masalah yang tak jarang membuat kami bertengkar. Mungkin sebagian
masalah yang kami hadapi adalah persoalan ekonomi. Sebagai suami istri yang
memulai semuanya dari nol, tentu kami tidak punya apa-apa saat menikah. Rumah kami
belum punya, atau lebih tepatnya belum bisa kami tempati. Alhamdulillah sebelum
menikah suami sudah membeli rumah secara kredit. Tapi entah kenapa sampai
sekarang rumah itu belum terbangun juga. Ya mungkin karena suami hanya mampu
membeli rumah dengan budget dibawah 150 juta. Sehingga developer nya pun juga masih
yang baru, tidak punya banyak modal. Persoalan rumah ini lah yang kadang
membuat kami bertengkar. Ya mungkin karena saya yang kurang sabar untuk
menunggu.
Setelah
menikah kami tinggal di pondok mertua indah. Tinggal di rumah suami. Sebab tak
mungkin tinggal di rumah orangtua saya, orangtua saya tidak punya rumah. Sepeninggalan
papa, mama tinggal di rumah petak bersama dua adik lelaki saya. Kurang lebih
lima belas bulan kami tinggal di rumah ibu. Setelah itu kami pindah ke rumah
kontrakan, karena sudah ada chacha. Tepat setelah masa cuti hamil saya habis,
kami pindah ke rumah kontrakan yang letaknya tidak jauh dari kantor suami. Kami
pindah karena saat saya bekerja, tidak ada yang menjaga Chacha. Ibu mertua saya
sudah dititipi dua anak dari kakak perempuan suami. Kami memboyong mama dan
adik-adik. Ya karena mama lah yang nantinya akan menjaga Chacha saat saya harus
bekerja.
Suami
saya mungkin memang tidak romantis. Jarang sekali kasih saya surprise. Tapi dia adalah lelaki yang
luar biasa. Kenapa luar biasa? Karena dia benar-benar menerima saya apa adanya.
Sebagai anak sulung, otomatis sejak kepergian papa pada tahun 2009 lalu, saya
lah yang menjadi kepala keluarga. Saya harus menghidupi mama dan ketiga adik
saya. Setelah memiliki anak, suami melarang saya untuk kerja fulltime. Saya hanya boleh bekerja
secara freelance. Tentunya pendapatan
saya berkurang cukup signifikan. Tapi suami tahu resikonya, dia tidak pernah
hitung-hitungan untuk membiayai keluarga saya. Semua uang yang dia dapatkan
langsung dia berikan ke saya. Bahkan amplop gaji selalu masih tersegel rapi. Dia
percaya pada saya sepenuhnya untuk mengelola ekonomi keluarga kami, tak hanya
untuk keluarga keci kami tapi juga untuk orangtua dan adik-adik saya.
Terkadang
saya merasa kasihan dengan suami, tak seharusnya dia yang memikul semua
tanggungjawab ini. Ini adalah tanggungjawaba saya sebagai anak sulung dari
empat bersaudara. Ingin saya bekerja secara penuh agar punya penghasilan yang
penuh juga. Agar saya bisa membiayai keluarga saya dengan jerih payah saya
sendiri. Tapi apa boleh buat, saya tidak mau melanggar perintah suami dan saya
juga nggak tega kalau harus terlalu lama meninggalkan chacha.
Setiap
hari saya selalu bersyukur dengan takdir yang Tuhan beikan. Mempertemukan saya
dengan lelaki yang sangat luar biasa ini. Dalam setiap sujud saya selalu berdoa
agar Tuhan selalu melindunginya dalam setiap langkahnya berjihad membiayai
keluarga kami. Saya akan terus berusaha menjadi istri yang baik untuknya. Menjadi
ibu yang baik bagi anak-anaknya. Saya sangat mencintainya, suami saya adalah
suami yang luar biasa. Terimakasih Tuhan, lindungi keluarga kami dari segala
mara bahaya. Beri kami kekuatan untuk selalu bersama menghadapi setiap cobaan
yang kau berikan. Berkahilah rumahtangga kami dengan kasih Mu yang tulus dan
abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar