Aku
Bangga Menjadi Ibu
Saya
tak henti-hentinya merasa bahwa menjadi ibu itu adalah sebuah proses
pembelajaran sepanjang hayat. Ibu, sebuah status yang seringkali dimarginalkan
dalam kehidupan yang semakin modern. Perempuan yang memilih menjadi ibu
rumahtangga seringkali dicibir, tak memiliki bergaining power yang kuat di
masyarakat. Dahulu saya juga berpikir demikian, tak pernah terlintas dalam
benak saya untuk menjadi seorang ibu rumahtangga. Impian saya adalah menjadi
wanita karir yang sukses. Tak sudi jika saya harus dibatasi dengan hanya
berperan di sektor domestik. Bagi saya kita sudah lama merdeka, emansipasi
adalah suatu keniscayaan. Perempuan juga punyak hak meniti karir di sektor
publik.
Wajarlah
jika pemikiran saya seperti ini, lingkunganlah yang membentuk saya. Walaupun
saya dibesarkan dalam lingkungan yang sangat patriakhi, saya tinggal dengan
kakek yang notabene adalah keturunan timur tengah sejak umur sepuluh tahun
namun jiwa-jiwa emansipatoris itu mampu tumbuh dalam benak saya. Mengapa?
Karena sebelum berusia sepuluh tahun, orangtua saya sudah membekali saya
nilai-nilai yang mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan itu kedudukannya
setara. Saya benar-benar yakin bahwa sosiologi primerlah yang mampu membentuk
pola pikir seorang anak. Saya adalah buktinya, jadi walaupun lebih lama tinggal
dengan kakek, saya tidak tergerus dengan pemikiran-pemikiran yang patriarkhis.
Selain itu sejak di bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi saya selalu
bersekolah di sekolah negeri yang lokasinya juga di pusat kota, maka
nilai-nilai patriarkhi itu tak banyak yang sukses membentuk pikiran saya.
Apalagi saya kuliah di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, yang pastinya di
kampus saya dijejali nilai-nilai modern, emansipasi dan kesetaraan gender
menjadi kudapan sehari-hari.
Setelah
menikah selama empat belas bulan, rumahtangga kami dikarunia seorang putri
cantik. Putri pertama kami bernama Dissa Zahra Firdausi, lahir pada tanggal 24
April 2014. Sejak itulah saya menyandang status baru, ibu. Sebuah status akan
selalu diikuti oleh sebuah peran. Saya memiliki peran baru, merawat seorang
anak. Disinilah semua nilai-nilai tentang emansipasi terjun bebas, cita-cita
menjadi wanita karir padam sudah. Bisa dikatakan pendangan hidup saya berubah
180 derajat. Saya sudah tak ingin lagi menjadi wanita karir, bekerja delapan
sampai sepuluh jam di kantor. Saya tak kuasa meninggalkan anak saya dalam waktu
yang lama. Tapi tentunya saya tetap bekerja, Cuma sekarang saya hanya seorang freelancer. Saya memilih menjadi
pengajar freelen, yang hanya bekerja 2-3 jam per hari. Jadi saya tetap bisa
mengaktualisasikan ilmu saya tanpa meninggalkan kewajiban saya sebagai seorang
ibu.
Setelah
hampir satu tahun menjadi ibu, yang lebih banyak menghabiskan waktunya dirumah.
Barulah saya menyadari, bahwa jadi ibu itu jauh lebih sulit daripada menjadi
seorang wanita karir. Dari segi waktu dan tenaga, tentu lebih banyak yang harus
dikeluarkan oleh seorang ibu rumahtangga daripada wanita karir. Dari segi ilmu
juga demikian. Jika kita menjadi ibu tak hanya satu ilmu yang harus kita
miliki, sebab merawat dan membesarkan anak dengan sukses itu harus didukung
oleh banyak ilmu.
Awal-awal
saya harus belajar tentang menyusui, mencari informasi bagaimana bisa menyusui
hingga usia dua tahun. Bagaimana agar asi (air susu ibu) keluar banyak dan
berkualitas. Bagaimana caranya agar tetap sukses menyusui walaupun bekerja, dan
segudang pernak-pernik yang menunjang suksesnya menyusui. Sumpah, itu lebih
ribet daripada harus melafalkan teori-teori yang saya dapat saat kuliah.
Setelah anak saya berusia 6 bulan, fase belajar saya berganti. Tak lagi seputar
asi tapi berganti mempelajari mpasi (makanan pendamping asi). Jatuh bangun saya
mencari info tentang bagaimana menyediakan mpasi homemade. Tiap hari melototi grup facebook yang bahas mpasi, tiap hari nggak lupa untuk googling resep-resep mpasi. Memang lebih
menyita banyak waktu dibandingkan dengan membuat mpasi instan. Tapi kepuasannya
itu lho, masak mpasi serempong apapun pasti capeknya akan hilang saat melihat
anak lahap makannya. Selain itu kesehatan anak lah reward paling berharga dalam
pemberian mpasi homemade. Anak tidak
gampang sakit, pertumbuhan dan perkembanganya menjadi normal sesuai dengan
standar gizi.
Sekarang
tak hanya ilmu tentang memberikan asupan gizi, tapi juga tentang mendidik anak.
Tentunya seorang ibu harus bisa memahami psikologi anak. Mendidik dengan cinta
dan berilmu. Alhamdulillah sekarang banyak seminar tentang parenting yang sangat membantu saya sebagai seorang ibu baru. Mengajari
anak berjalan, bersikap, dan berkomunikasi tentu tidak mudah bila ibunya tidak
berilmu. Maka saya tak lagi rendah diri, sebagai seorang sarjana yang memilih
untuk memperioritaskan karir di dalam rumah. Tak merasa kuliah saya sia-sia hanya karena saya Cuma
seorang ibu rumahtangga. Bahkan saya ingin bersekolah lagi, menambah ilmu agar
anak saya menjadi generasi pilihan.
Perempuan
itu tetap harus berpendidikan tinggi apalagi jika memilih sebagai seorang ibu
rumahtangga. Seorang yang lebih banyak dirumah bersama anak-anaknya. Perempuan
harus berilmu, agar dia juga mampu mendidik anaknya dengan ilmu. Sebab ibu
adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Sekolah yang baik tentu akan
menghasilkan lulusan yang baik. Saya ingin menjadi sekolah yang baik bagi anak-anak
saya. Saya tak akan berputus asa untuk terus belajar menjadi ibu. Dan saya
bangga menjadi seorang ibu rumahtangga.... J
Assalamualaikum...
BalasHapusMbak menurut mbak, batesan dalam hubungan pria dan wanita itu bagaimana?